indonesia

indonesia

Selasa, 22 Oktober 2013

MAKALAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN


KEBIJAKAN PENDIDIKAN BERDASARKAN
FAKTA DAN INFORMASI
Makalah  Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah  Kebijakan Pendidikan

 





Dosen pengampu:
KADI, M.Pd.I
  Disusun Oleh:
M LATIF NAHROWI                        : 210309081

KELAS/SEMESTER: TB.C / VI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO

2012

BABI
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Reformasi membawa perubahan disegala bidang slah satunya adalah otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah dengan dasar dsentrealisari ini didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan, dan efisiensi. Desentralisasi berimplikasi  kebijakan publik harus berasal dari masyarakat bawah keatas, bukan lagi dari atas atau pemerintah.
Akan tetapi, dalam bidang pendidikan hal tersebut sepertinya tidak bisa berjalan sesuai seperti seharusnya. Kebijakan-kebijakan yang ada pada saat ini terkesan dan bahkan memang semuanya berasal dan disusun langsung oleh Dinas pendidikan tanpa memperhatikan partisipasi dari masyarakat. Pendidikan yang seharusnya berpusat di masyarakat, untuk saat ini pendidikan masih di pegang secara penuh oleh pihak Dinas pendidikan atau pemerintah.
Padahal pendidikan yang dijadikan isu politik membutuhkan pranata sosial dan masyarakatyang memiliki partisipasi aktif dengan kemampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kondisi yang semacam itu merupakan unsur penting dalam mendukung terwujudnya segala bentuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang adil dan demokratis.
Keterbukaan dan kesempatan untuk bertpartisipasi dalam bidang pendidikan harus dimanfaatkan dengan baik yakni dengan cara setiap mengambil kebijakan pemerintah harus menerapkan sistem botom up, yakni kebijakan yang berasal dari kondisi masyarakat.
Dari beberapa temuan analisis diatas maka dalam makalah ini kami akan mencoba menyajikan materi kebijakan pendidikan berdasarkan fakta dan informasi
B.       Rumusan Masalah
1.       Bagaimana proses siklus kebijakan pendidikan yang berdasarkan fakta dan infornasi?
2.      Bagaimana kebijakan pendidikan berdasarkan fakta dan informasi?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Kebijakan Pendidikan
Menurut para pakar ahli definisi kebijakan adalah sebagai berikut:
1.      Unitet Nations (1975)
Kebijakan adalah suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu (Wahab, 1990)
2.      James E. Anderson (1978)
Kebijakan adalah prilaku dari sejumlah aktor ( pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu kegiatan tertentu (Wahab, 1990).[1]
            Dari teori kedua pakar diatas dapat kita analisa, bahwasannya kebijakan adalah sebuah keputasan yang dibuat oleh  seseorang sebagai suatu pedoman atau dasar untuk melakukan tindakan atau aktifitas tertentu. Dalam hal ini pemerintah tentunya yang paling berperan penuh dalam menentukan sebuah kebijakan yang nantinya dilaksanakan dan diikuti oleh semua pelaku kebijakan.  
Pengertian Kebijakan pendidikan adalah proses suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional yang sudah dirumuskan secara strategis oleh lembaga pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dan di operasikan dalam sebuah lembaga pendidikan sebagi perencanaan umum dalam rangka untuk mengambil keputusan agar tujuan pendidikan yang di inginkan bisa tercapai.[2]
Hal diatas dapat kita cermati secara seksama bahwasannya kebijakan pendidikan merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan untuk memberikan acuan atau dasar terhadap seluruh elemen yang berhubungan dengan pendidikan, tentunya dalam mengambil kebijakan juga mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan pelaku pendidikan.

B.       Siklus Kebijakan Pendidikan yang Berdasarkan Fakta dan Informasi
Pada ganbar siklus dibawah ini ditunjukan kaitan yang erat antara teori, riset, kebijakan dan praktik pendidikan,

 

















Dari siklus diatas dapat diuraikan sebagai berikut:
Kabijakan pendidikan yang berdasarkan fakta dan informasi telah mendapat input dari kebutuhan masyarakat, selanjutnya kebijakan pendidikan tersebut akan menentukan masalah-masalah yang perlu diteliti. Dengan demikian riset bukan hanya dilaksanakan untuk kepentingan riset itu sendiri dan hasilnya kebanyakan disimpan dilaci meja, tetapi riset yang betul-betul dilaksanakan karena kebutuhan lapangan. Hasil riset yang demikian akan mempunyai validasi berdasarkan kenyataan-kenyataan dilapangan. Riset yang telah divalidasi dapat disebar luaskan dalam berbagai eksperimen. Eksperimen pendidikan inilah yang  akan membuahkan kebijakan pendidikan yang telah tervalidasi. Demikian seterusnya terjadi siklus yang berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset dan eksperimen. Gambar diatas menunjukan model kebijakan pendidikan berdasarkan “Evidence Information” yang telah banyak dilakukan di beberapa negara.[3]
Berdasarkan keterangan diatas maka kami mencoba untuk menjelaskan mengenai  siklus tersebut sebagai berikut:
Bahwasanya dalam  praktik kebijakan pendidikan seharusnya pemerintah melakukan haltersebut dari masyarakat yang kemudian melakukan seleksi  masalah untuk riset dan  diteruskan dengan melakukan penelitian atau riset yang dilakukan itu menghasilkan data-data yang ditemukan saat penelitian atau riset tersebut, setelah mendapatkan hasil riset selanjutnya dilakukan validasi atau memmvalidkan data dari temuan hasil riset,  Kemudian melakukan desiminasi atau memberikan kesempatan kepada orang atau msyarakat ataupun pemerintahan untuk memberikan komplen dan masukan sebelum dijadikan sebuah kebijakan, setelah itu munculah kebijakan pendidikan berdasarkan fakta dan informasi yang ditemukan dari masyarakat dan akhirnya kebijakan tersebut dipraktikan  dalam sebuah pendidikan.
Jadi dari siklus diatas dapat kita simpilkan bahwasannya semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memajukan pendidikan yang ada di indonesia haruslah berasal dari temuan fakta-fakta dan dinformasi dari masyarakat, bukan sebaliknya pemerintah langsung menentukan kebijakan tanpa ikut campur dari masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri nantinya yang akan melaksanakan dan melakukan kebijakan-kebijakan itu adalah masyarakat.



C.       Kebijakan Pendidikan Berdasarkan Fakta dan Informasi
Model kebijakan pendidikan sebagaimana yang tertera dalam sub bab B menunjukkan keterlibatan yang aktif dari para guru profesional  dan birokrasi pendidikan. Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan pendidikan menuntut peran aktif dari para pendidik profesional karena dari merekalah dapat disusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata di dukung oleh fakta-fakta positif. Kegiatan para pendidik dalam mengikuti setiap langkah dari siklus penyusunan dan pelaksanaan kebijakan  pendidikan merupakan portofolio dari keprofesionalan pendidik. Dewasa ini menurut undang-undang no 14 tahun 2004 tentang guru dan dosen menuntut terbinannya guru profesional yang ditentukan bukan semata-mata oleh ijazah formal, tetapiterutama oleh partisipasinnya dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.[4]
Melihat temuan diatas kita bisa menganalisa bahwasannya dalam menentukan kebijakan  pendidikan para guru dan birokrasi pendidikan ditutut profesional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti siklus-siklus kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari mereka semua kebijakan pendidikan dapat dihasilkan, maka secara otomatis mereka harus selalu berperan aktif dan profesional dalam mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengen kebutuhan masyarakat.
Partisipasi aktif dari para pendidik dalam pembinaan keprofesionalannya telah mulai dicoba dinegara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Sekolah-sekolah yang mengambil peranan aktif dalam pembinaan profesionalisme tersebut bergabung dengan Profesional Development School (PDS). PDS ternyata bukan hannya menjadi pendorong pembinaan pendidik profesional tetapi juga akan meningkatkan kwalitas proses pendidikan serta partisipasi masyarakat, dalam pendidikan seperti dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. PDS menunjukkan pada kita arti yang sebenarnya dari lembaga pendidikan atau sekolah yang otonom.[5]
Coba kita refleksi secara bersama-sama dari analisa diatas. Berbeda dengan kondisi penentuan kebijakan pendidikan yang ada di Negara tercinta kita yakni Negara Indonesia, belum adanya partisipasi aktif dari para pendidik dan birokrasi pendidikan untuk melihat kondisi masyarakat dalam menentukan sebuah kebijakan. Memang kalau kita lihat di Negara kita birokrasi pendidikan belum berani menerapkan hal semacam ini secara besar-besaran dan bersama-sama diseluruh penjuru Negeri. Berbicara masalah kondisi masyarakat tentunya pasti berbeda dengan Negara-negara tersebut, akan tetapi demi memajukan pendidikan Indonesia maka Birokrasi pendidikan dalam menentukan kebijakan harus berani mencoba menerapkan sistem bottom up secara transparan kepada seluruh masyarakat.
Karena kita tahu bahwasannya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat dan kebiasaan beragam. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal pemerintah harus mengikut sertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut untuk memutuskan suatu kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah dites kebenarannya dilapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut di rumuskan dan di instruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang di instruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai akar dilapangan sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya.[6]
Selain kebijakan pendidikan yang tidak berakar tersebut akan melahirkan budaya yang ABS (Asal Bapak Senang) dengan laporan-laporang dari bawah yang menyatakan keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dapat kita lihat dalam silih bergantinya kurikulum disekolah tanpa didukung oleh fakta dan kenyataan serta yang lebih penting lagi sosialisasi dari guru profesional yang akan melaksanakannya.[7]
Memang benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di Negara kita ini bisa di rasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi sayangnya birokrasi pendidikan yang ada di Negara kita belum menerapkan hal tersebut.
Dalam penerapan kurikulumpun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah mempunyai maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita sering berganti-gantinya kurikulum. Akhrirnya pemeintah kebingungan untuk menemukan model pendidikan yang ada di Negara kita. Semua itu karena pemerintah belum bisa mempercayai masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Meskipun pada akhirnya yang menentukan kebijakan adalah dari pemerintah, minimal sebelum mengeluarkan kebijakan itu pemerintah harus mengikut sertakan masyarakat terlebih dahulu. Disadari atau tidak bahwasannya pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang ada.


DAFTAR PUSTAKA
Tilaar dan Rian Nugroho. Kebijakan Pendidikan. (Yokyakarta: Pustaka Pelajar). 2009.
http://Mudjiaraharjo. Uin-Malang AcId/materi-kuliyah/111-pengantar- analisis / kebijakan/pendidikan.html. diakses tanggal 16-04-2012.
http://ikm1.multiply.com journal/rem/2/karakter_kebijakan_pendidikan_nasional? &show_interestitial=1&u=/2Fjournal/2Fintern. Di akses tanggal 10-04-2012.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar