indonesia

indonesia

Kamis, 24 Oktober 2013

MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN


PENDIDIKAN KEMASYARAKATAN
Makalah  Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah  Sosiologi Pendidikan
 






Dosen pengampu:
M Widda Djuhan

 Disusun Oleh:
M Latif Nahrowi                   (210309082)
KELAS/SEMESTER: TB.C / VI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
 2012




BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dewasa ini pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia sangat pesat dan berkembang dengan cepat, sangat banyak sekali model-model pendidikan Islam baik yang bersifat formal, non formal maupun informal, mulai dari pendidikan pesantren, madrasah, surau, majlis ta’lim dan lain sebagainya. Maka sebagai umat Islam sangat penting sekali mempelajari dan mengetahui seluk-beluk, sejarah dan perkembangannya mulai dari awal kemunculan hingga perkembangannya sampai sekarang. Berhubung menghadapi cepatnya perkembangan tersebut yang sudah tentu membawa perubahan, maka para pengembang pendidikan Islam, diharapkan untuk selalu tanggap terhadap segala bentuk perubahan yang terjadi, terutama dalam mengembangkan pendidikan di dalam masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
Maka dari permasalahan tersebut diatas, pendidikan kemasyarakatan akan dibahas dalam makalah ini dan bisa ditarik rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah konsep pendidikan berbasis masyarakat?
2.      Bagaimana hubungan pendidikan dan lingkungan social?
3.      Bagaimana hubungan pendidikan dengan masyarakat?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Pendidikan adalah suatu hal yang amat urgen dalam kehidupan umat manusia secara umum, dan dalam kehidupan umat Islam secara khusus. Oleh karena itu Syari’at Al Qur’an memberikan perhatian yang amat besar, sampai-sampai ayat Al Qur’an yang pertama diturunkan adalah 5 ayat dalam surat Al ‘Alaq, yang memerintahkan umat manusia untuk membaca dan belajar.[1]
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan dari demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat.pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi tantangan kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat.
Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan.
Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluamg dan kebebasan untuk mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.[2]

B.     Konsep Pendidikan Masyarakat
Konsep PBM adalah : dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U. 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education).
Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah :
  • Pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya.
  • Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran.
  • Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.[3]
Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat kita pahami, bahawasannya konsep-konsep pendidikan yang ada di masyaraat haruslah memperhatikan kondisi social masyarakat tersebut dan juga pendidikan adalah untuk masyarakat tersebut juga.

C.    Peran Pendidikan Dalam Masyarakat
Sebagian besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial Pemerintah bersama orang tua telah menyediakan anggaran pendidikan yang diperlukan sceara besar-besaran untuk kemajuan sosial dan pembangunan bangsa, untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan seperti rasa hormat kepada orang tua, kepada pemimpin kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum dan norma-norma yang berlaku, jiwa patriotisme dan sebagainya.
Pendidikan juga diharapkan untuk memupuk rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kemajuan-kemajuan dan pembangunan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Pendek kata pendidikan dapat diharapkan untuk mengembangkan wawasan anak terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan secara tepat dan benar, sehingga membawa kemajuan pada individu masyarakat dan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Berbicara tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat, di bawah ini disajikan tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam masyarakat.
Menurut Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
1.      Fungsi sosialisasi
Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi.
Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya.[4]
2.      Fungsi control social
Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus juga berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme kontrol sosial. Durheim menjelaskan bahwa petididikan moral dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial. (Jeane H. Bellatine, 1983, p.8).
Melalui pendidikan semacam ini individu mengadopsi nilai-nilai sosial dan melakukan interaksi nilai-niiai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari Selanjutnya sebagai individu sebagai anggota masyarakat ia juga dituntut untuk memberi dukungan dan berusaha untuk mempertahankan tatanan sosial yang berlaku.
Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.[5]
3.      Fungsi pelestarian budaya masyarakat
Sekolah di samping mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.[6]
4.      Fungsi seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja.
Jika kita amati apa yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka menyiapkan tenaga kerja untuk suatu jabatan tertentu, maka di sana akan terjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan, latihan untuk suatu jabatan dan pengembangan tenaga kerja tertentu.
Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk latihan dan pengembangan tenaga kerja mempunyai dua hal. Pertama sekolah digunakan untuk menyiapkan tenaga kera profesional dalam bidang spesialisasi tertentu. Untuk memenuhi ini berbagai bidang studi dibuka untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil dan berkemampuan yang tinggi dalam bidangnya. Kedua dapat digunakan untuk memotivasi para pekerja agar memiliki tanggung jawab terhadap kanier dan pekerjaan yang dipangkunya.[7]
5.      Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.
Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.
Fungsi pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan.
Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir knitis bukan saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi.[8]
6.      Fungsi Sekolah dalam Masyarakat
Sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang di dalam lingkungan masyarakat.
Fungsi sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi pula oleh sedikit banyaknya serta fungsional tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kekayaan sumber belajar dalam masyarakat seperti adanya orang-orang sumber, perpustakaan, museum, surat kabar, majalah dan sebagainya dapat digunakan oleh sekolah dalam menunaikan fungsi pendidikan.
Sebagai produser kebutuhan pendidikan masyarakat sekolah dan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional di antara keduanya. Pertama, adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Kedua, ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangani oleh lembaga persekolahan akan ditentukan pula o!eh kejelasan perumusan kontrak antara sekolah selaku pelayan dengan masyarakat selaku pemesan. Ketiga, keberhasilan penunaian fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat sebagian akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya.[9]
D.    Hubungan pendidikan dan Masarakat
 Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik, kelakuan manusia pada hakikatnya hamper seluruhnya bersifat social,yakni dipelajari dalam interaksi dengan manusia lainnya. Dengan demikian pula kelompok atau masyarakat menjamin kelangsungan hidupnya melalui pendidikan.
Agar masyarakat itu dapat menunjukkan eksistensinya, maka kepada anggota mudanya haruslah diteruskan dengan nilai-nilai, pengelolaan, ketrampilan dan bentuk-bentuk kelakuan lainnya yang diharapkan akan dimiliki boleh setiap anggota kelompok atau masyarakat tersebut.[10]
Dalam artian pendidikan dimulai dengan interaksi antara individu itu dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hidup bermasyarakat, satu bersama lain saling membutuhkan, manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai aktifitas dan berinteraksi satu dengan yang lain serta masing-msing memenuhi kebutuhan hidupnya.[11]
Dalam masyarakat primitive tidak ada pendidikan formal yang tersendiri, juga dalam masyarakat yang maju kebanyakan kebiasaan dan pola kelakuan yang pokok dalam kebudayaan dipelajari melalui proses pendidikan atau sosialisasi informal.[12]
Namun sering dikatakan bahwasannya  pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan formal disekolah, yakni orang yang berpendidikan adalah orang yang bersekolah. Akan tetapi disisilain esensi dari pendidikan bukanlah hanya dipendidikan yang formak saja tapi pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan yang berhubungan atau berinteraksi  langsung dengan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Noor, Arifin. Ilmu Sosial Dasar. Bandung :  CV Pustaka Setia 1999.
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. 2011.
Surakhmad, Winarno. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah Dalam Rangka Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat. Semarang: Kanwil Depdiknas Propinsi Jawa Tengah, 2002.
http// fungsi-dan-peranan-pendidikan-dalam-masyarakat.html diakses tanggal 11 maret 2012.
http// sepercik-cahaya-keindahan-islam-pendidikan-dan-kemasyarakatan-4-a-376.html. Di akses tanggal 11 Maret 2012.
http//konsep-pendidikan-berbasis-masyarakat.html. Di akses tanggal 11 Maret 2012.


[1] http// sepercik-cahaya-keindahan-islam-pendidikan-dan-kemasyarakatan-4-a-376.html. Di akses tanggal 11 Maret 2012.
[2] Winarno, Surakhmad. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah Dalam Rangka Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat. Semarang: Kanwil Depdiknas Propinsi Jawa Tengah, 2002. 16.
[3] http//konsep-pendidikan-berbasis-masyarakat.html. Di akses tanggal 11 Maret 2012.
[4] http// fungsi-dan-peranan-pendidikan-dalam-masyarakat.html diakses tanggal 11 maret 2012.
[5] Ibid.
[6] I http// fungsi-dan-peranan-pendidikan-dalam-masyarakat.html diakses tanggal 11 maret 2012.
[7] Ibid.
[8] http// fungsi-dan-peranan-pendidikan-dalam-masyarakat.html diakses tanggal 11 maret 2012.
[9]  Ibid.
[10] S Nasution. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. 2011. 10.
[11] Arifin, Noor. Ilmu Sosial Dasar. Bandung :  CV Pustaka Setia 1999. 45-46.
[12] S Nasution. 10.

Selasa, 22 Oktober 2013

MAKALAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN


KEBIJAKAN PENDIDIKAN BERDASARKAN
FAKTA DAN INFORMASI
Makalah  Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah  Kebijakan Pendidikan

 





Dosen pengampu:
KADI, M.Pd.I
  Disusun Oleh:
M LATIF NAHROWI                        : 210309081

KELAS/SEMESTER: TB.C / VI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO

2012

BABI
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Reformasi membawa perubahan disegala bidang slah satunya adalah otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah dengan dasar dsentrealisari ini didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan, dan efisiensi. Desentralisasi berimplikasi  kebijakan publik harus berasal dari masyarakat bawah keatas, bukan lagi dari atas atau pemerintah.
Akan tetapi, dalam bidang pendidikan hal tersebut sepertinya tidak bisa berjalan sesuai seperti seharusnya. Kebijakan-kebijakan yang ada pada saat ini terkesan dan bahkan memang semuanya berasal dan disusun langsung oleh Dinas pendidikan tanpa memperhatikan partisipasi dari masyarakat. Pendidikan yang seharusnya berpusat di masyarakat, untuk saat ini pendidikan masih di pegang secara penuh oleh pihak Dinas pendidikan atau pemerintah.
Padahal pendidikan yang dijadikan isu politik membutuhkan pranata sosial dan masyarakatyang memiliki partisipasi aktif dengan kemampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kondisi yang semacam itu merupakan unsur penting dalam mendukung terwujudnya segala bentuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang adil dan demokratis.
Keterbukaan dan kesempatan untuk bertpartisipasi dalam bidang pendidikan harus dimanfaatkan dengan baik yakni dengan cara setiap mengambil kebijakan pemerintah harus menerapkan sistem botom up, yakni kebijakan yang berasal dari kondisi masyarakat.
Dari beberapa temuan analisis diatas maka dalam makalah ini kami akan mencoba menyajikan materi kebijakan pendidikan berdasarkan fakta dan informasi
B.       Rumusan Masalah
1.       Bagaimana proses siklus kebijakan pendidikan yang berdasarkan fakta dan infornasi?
2.      Bagaimana kebijakan pendidikan berdasarkan fakta dan informasi?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Kebijakan Pendidikan
Menurut para pakar ahli definisi kebijakan adalah sebagai berikut:
1.      Unitet Nations (1975)
Kebijakan adalah suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu (Wahab, 1990)
2.      James E. Anderson (1978)
Kebijakan adalah prilaku dari sejumlah aktor ( pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu kegiatan tertentu (Wahab, 1990).[1]
            Dari teori kedua pakar diatas dapat kita analisa, bahwasannya kebijakan adalah sebuah keputasan yang dibuat oleh  seseorang sebagai suatu pedoman atau dasar untuk melakukan tindakan atau aktifitas tertentu. Dalam hal ini pemerintah tentunya yang paling berperan penuh dalam menentukan sebuah kebijakan yang nantinya dilaksanakan dan diikuti oleh semua pelaku kebijakan.  
Pengertian Kebijakan pendidikan adalah proses suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional yang sudah dirumuskan secara strategis oleh lembaga pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dan di operasikan dalam sebuah lembaga pendidikan sebagi perencanaan umum dalam rangka untuk mengambil keputusan agar tujuan pendidikan yang di inginkan bisa tercapai.[2]
Hal diatas dapat kita cermati secara seksama bahwasannya kebijakan pendidikan merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan untuk memberikan acuan atau dasar terhadap seluruh elemen yang berhubungan dengan pendidikan, tentunya dalam mengambil kebijakan juga mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan pelaku pendidikan.

B.       Siklus Kebijakan Pendidikan yang Berdasarkan Fakta dan Informasi
Pada ganbar siklus dibawah ini ditunjukan kaitan yang erat antara teori, riset, kebijakan dan praktik pendidikan,

 

















Dari siklus diatas dapat diuraikan sebagai berikut:
Kabijakan pendidikan yang berdasarkan fakta dan informasi telah mendapat input dari kebutuhan masyarakat, selanjutnya kebijakan pendidikan tersebut akan menentukan masalah-masalah yang perlu diteliti. Dengan demikian riset bukan hanya dilaksanakan untuk kepentingan riset itu sendiri dan hasilnya kebanyakan disimpan dilaci meja, tetapi riset yang betul-betul dilaksanakan karena kebutuhan lapangan. Hasil riset yang demikian akan mempunyai validasi berdasarkan kenyataan-kenyataan dilapangan. Riset yang telah divalidasi dapat disebar luaskan dalam berbagai eksperimen. Eksperimen pendidikan inilah yang  akan membuahkan kebijakan pendidikan yang telah tervalidasi. Demikian seterusnya terjadi siklus yang berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset dan eksperimen. Gambar diatas menunjukan model kebijakan pendidikan berdasarkan “Evidence Information” yang telah banyak dilakukan di beberapa negara.[3]
Berdasarkan keterangan diatas maka kami mencoba untuk menjelaskan mengenai  siklus tersebut sebagai berikut:
Bahwasanya dalam  praktik kebijakan pendidikan seharusnya pemerintah melakukan haltersebut dari masyarakat yang kemudian melakukan seleksi  masalah untuk riset dan  diteruskan dengan melakukan penelitian atau riset yang dilakukan itu menghasilkan data-data yang ditemukan saat penelitian atau riset tersebut, setelah mendapatkan hasil riset selanjutnya dilakukan validasi atau memmvalidkan data dari temuan hasil riset,  Kemudian melakukan desiminasi atau memberikan kesempatan kepada orang atau msyarakat ataupun pemerintahan untuk memberikan komplen dan masukan sebelum dijadikan sebuah kebijakan, setelah itu munculah kebijakan pendidikan berdasarkan fakta dan informasi yang ditemukan dari masyarakat dan akhirnya kebijakan tersebut dipraktikan  dalam sebuah pendidikan.
Jadi dari siklus diatas dapat kita simpilkan bahwasannya semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memajukan pendidikan yang ada di indonesia haruslah berasal dari temuan fakta-fakta dan dinformasi dari masyarakat, bukan sebaliknya pemerintah langsung menentukan kebijakan tanpa ikut campur dari masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri nantinya yang akan melaksanakan dan melakukan kebijakan-kebijakan itu adalah masyarakat.



C.       Kebijakan Pendidikan Berdasarkan Fakta dan Informasi
Model kebijakan pendidikan sebagaimana yang tertera dalam sub bab B menunjukkan keterlibatan yang aktif dari para guru profesional  dan birokrasi pendidikan. Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan pendidikan menuntut peran aktif dari para pendidik profesional karena dari merekalah dapat disusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata di dukung oleh fakta-fakta positif. Kegiatan para pendidik dalam mengikuti setiap langkah dari siklus penyusunan dan pelaksanaan kebijakan  pendidikan merupakan portofolio dari keprofesionalan pendidik. Dewasa ini menurut undang-undang no 14 tahun 2004 tentang guru dan dosen menuntut terbinannya guru profesional yang ditentukan bukan semata-mata oleh ijazah formal, tetapiterutama oleh partisipasinnya dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.[4]
Melihat temuan diatas kita bisa menganalisa bahwasannya dalam menentukan kebijakan  pendidikan para guru dan birokrasi pendidikan ditutut profesional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti siklus-siklus kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari mereka semua kebijakan pendidikan dapat dihasilkan, maka secara otomatis mereka harus selalu berperan aktif dan profesional dalam mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengen kebutuhan masyarakat.
Partisipasi aktif dari para pendidik dalam pembinaan keprofesionalannya telah mulai dicoba dinegara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Sekolah-sekolah yang mengambil peranan aktif dalam pembinaan profesionalisme tersebut bergabung dengan Profesional Development School (PDS). PDS ternyata bukan hannya menjadi pendorong pembinaan pendidik profesional tetapi juga akan meningkatkan kwalitas proses pendidikan serta partisipasi masyarakat, dalam pendidikan seperti dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. PDS menunjukkan pada kita arti yang sebenarnya dari lembaga pendidikan atau sekolah yang otonom.[5]
Coba kita refleksi secara bersama-sama dari analisa diatas. Berbeda dengan kondisi penentuan kebijakan pendidikan yang ada di Negara tercinta kita yakni Negara Indonesia, belum adanya partisipasi aktif dari para pendidik dan birokrasi pendidikan untuk melihat kondisi masyarakat dalam menentukan sebuah kebijakan. Memang kalau kita lihat di Negara kita birokrasi pendidikan belum berani menerapkan hal semacam ini secara besar-besaran dan bersama-sama diseluruh penjuru Negeri. Berbicara masalah kondisi masyarakat tentunya pasti berbeda dengan Negara-negara tersebut, akan tetapi demi memajukan pendidikan Indonesia maka Birokrasi pendidikan dalam menentukan kebijakan harus berani mencoba menerapkan sistem bottom up secara transparan kepada seluruh masyarakat.
Karena kita tahu bahwasannya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat dan kebiasaan beragam. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal pemerintah harus mengikut sertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut untuk memutuskan suatu kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah dites kebenarannya dilapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut di rumuskan dan di instruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang di instruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai akar dilapangan sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya.[6]
Selain kebijakan pendidikan yang tidak berakar tersebut akan melahirkan budaya yang ABS (Asal Bapak Senang) dengan laporan-laporang dari bawah yang menyatakan keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dapat kita lihat dalam silih bergantinya kurikulum disekolah tanpa didukung oleh fakta dan kenyataan serta yang lebih penting lagi sosialisasi dari guru profesional yang akan melaksanakannya.[7]
Memang benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di Negara kita ini bisa di rasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi sayangnya birokrasi pendidikan yang ada di Negara kita belum menerapkan hal tersebut.
Dalam penerapan kurikulumpun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah mempunyai maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita sering berganti-gantinya kurikulum. Akhrirnya pemeintah kebingungan untuk menemukan model pendidikan yang ada di Negara kita. Semua itu karena pemerintah belum bisa mempercayai masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Meskipun pada akhirnya yang menentukan kebijakan adalah dari pemerintah, minimal sebelum mengeluarkan kebijakan itu pemerintah harus mengikut sertakan masyarakat terlebih dahulu. Disadari atau tidak bahwasannya pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang ada.


DAFTAR PUSTAKA
Tilaar dan Rian Nugroho. Kebijakan Pendidikan. (Yokyakarta: Pustaka Pelajar). 2009.
http://Mudjiaraharjo. Uin-Malang AcId/materi-kuliyah/111-pengantar- analisis / kebijakan/pendidikan.html. diakses tanggal 16-04-2012.
http://ikm1.multiply.com journal/rem/2/karakter_kebijakan_pendidikan_nasional? &show_interestitial=1&u=/2Fjournal/2Fintern. Di akses tanggal 10-04-2012.