indonesia

indonesia

Rabu, 26 Januari 2011

Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat

BAB I
A. PENDAHULUAN
Bertolak dari penyelenggaraan sistem pemerintahan yang berupa desentralistik, maka hal ini berdampak pula terhadap reorintasi Visi dan Misi Pendidikan Nasional yang di dalamnya menyangkut pula tentang Standar Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional. Yang berimbas pula pada Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Pendanaaan, dan Strategi Pembangunan Pendidikan Nasional.Implementasi otonomi terhadap lembaga pendidikan terwujud dalam School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah. Dikarenakan Manajemen Berbasis Sekolah ini adalah upaya kemandirian, kreativitas sekolah dalam peningkatan kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam peningkatan mutu melalui kerjasama atau pemberdayaan pemerintah dan masyarakat, maka diperlukan pula administrasi pendidikan di bidang hubungan sekolah dengan masyarakat. Dari paparan di atas, maka melalui makalah ini kami mencoba mengupas hubungan antara sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan.
BAB II
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hubungan Sekolah dengan Masyarakat.
Istilah hubungan dengan masyarakat dikemukakan kali pertama oleh presiden Amerika Serikat, Thomas Jefferson tahun 1807 dengan istilah Public Relations. Hingga saat ini pengertian hubungan dengan masyarakat itu sendiri belum mencapai suatu mufakat konvensional.
Adapun pengertian hubungan dengan masyarakat menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Menurut Oemi Abdurrachman (1971) M.A ialah kegiatan untuk menanamkan dan memperoleh pengertian, good will, kepercayaan, penghargaan dari publik sesuatu badan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
b. Menurut Ibnoe syamsi (1967), Humas adalah kegiatan organisasi untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarkat agar mereka mendukungnya dengan sadar dan sukarela.
c. Menurut Drs. SK Bonar (1977) hubungan masyarakat menjalankan usahanya untuk mencapai hubungan yang harmonis antara sesuatu badan organisasi dengan masyarakat sekelilingnya.
d. Menurut Glennand Denny Griswold (1966) public relations is the management function which evaluates public attitude, identifies the policies and prosedures of an individual or organization with the public interest, and executes a program of action to earn public understanding and acceptance. Humas merupakan fungsi menejemen yang diadakan untuk menilai dan menyimpulkan sikap-sikap publik, menyesuaikan policy dan prosedur instansi atau organisasi dan kepentingan umum, menjalankan suatu progaram untuk mendapatkan penegrtian dan dukunagan dari masyarakat.
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan jalinan interaksi yang diupayakan oleh sekolah agar dapat diterima di tengah-tengah masyarakat untuk mendapatkan aspirasi, simpati dari masyarakat. Dan mengupayakan terjadinya kerjasama yang baik antar sekolah dengan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan untuk kebaikan bersama.
2. Tugas Pokok Hubungan Sekolah dan Masyarakat dalam Pendidikan
Tugas pokok hubungan sekolah dengan masyarakat dalam pendidikan antara lain:
a. Memberikan informasi dan menyampaikan ide atau gagasan kepada masyarakat atau pihak-pihak lain yang membutuhkannya.
b. Membantu pemimpin yang karena tugas-tugasnya tidak dapat langsung memberikan informasi kepada masyarakat atau pihak-pihak yang memerlukannya.
c. Membantu pemimpin mempersiapkan bahan-bahan tentang permasalahan dan informasi yang akan disampaikan atau yang menarik perhatian masyarakat pada saat tertentu.
d. Melaporkan tentang pikiran-pikiran yang berkembang dalam masyarakat tentang masalah pendidikan.
e. Membantu kepala sekolah bagaimana usaha untuk memperoleh bantuan dan kerja sama.
f. Menyusun rencana bagaimana cara-cara memperoleh bantuan untuk kemajun pelaksanaan pendidikan.
3. Faktor Pendukung Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat bisa berjalan baik apabila di dukung oleh beberapa faktor yakni:
a. Adanya program dan perencanaan yang sistematis.
b. Tersedia basis dokumentasi yang lengkap.
c. Tersedia tenaga ahli, terampil dan alat sarana serta dana yang memadai.
d. Kondisi organisasi sekolah yang memungkinkan untuk meningkatkan kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat.
4. Tujuan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat dibangun dengan tujuan popularitas sekolah di mata masyarakat. Popularitas sekolah akan tinggi jika mampu menciptakan program-program sekolah yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan dan cita-cita bersama dan dari program tersebut mampu melahirkan sosok–sosok individu yang mapan secara intelektual dan spiritual. Dengan popularitas ini sekolah eksis dan semakin maju. Tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat diantaranya sebagai berikut:
a. Memberi penjelasan tentang kebijaksanaan penyelenggaraan sekolah situasi dan perkembangannya.
b. Menampung sarana-sarana dan pendapat-pendapat dari warga sekolah dalam hubungannya dengan pembinaan dan pengembangan sekolah.
c. Dapat memelihara hubungan yang harmonis dan terciptanya kerja sama antar warga sekolah sendiri.
5. Sedangkan menurut Mulyasa, tujuan dari hubungan sekolah dengan masyarakat adalah:
a. Memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan peserta didik
b. Memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat
c. Menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.
6. Bentuk Opersional Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
a. Di bidang Sarana Akademik
Tinggi rendahnya prestasi lulusan (kualitas maupun kuantitas), penelitian, karya ilmiah (lokal, nasional, internasiona), jumlah dan tingkat kesarjanaan pendidiknya, sarana dan prasarana akademik termasuk laboratorium dan perpustakaan atau PSB, SB yang mutakhir serta teknologi instruksional yang mendukung PBM, termasuk ukuran prestasi dan prestise-nya.
b. Di bidang Sarana Pendidikan
Gedung atau bangunan sekolah termasuk ruang belajar, ruang praktikum, kantor dan sebagainya beserta perabot atau mebeuler yang memadai akan memiliki daya tarik tersendiri bagi popularitas sekolah.
c. Di bidang Sosial
Partisipasi sekolah dengan masyarakat sekitarnya, seperti kerja bakti, perayaan-perayaan hari besar nasional atau keagamaan, sanitasi dan sebagainya akan menambah kesan masyarakat sekitar akan kepedulian sekolah terhadap lingkungan sekitar sebagai anggota masyarakat yang senantiasa sadar lingkungan demi baktinya terhadap pembangunan masyarakat.
d. Menyediakan fasilitas sekolah untuk kepentingan masyarakat sekitar sepanjang tidak mengganggu kelancaran PBM, demikian sebaliknya fasilitas yang ada di masyarakat sekitarnya dapat digunakan untuk kepentingan sekolah.
e. Mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat dalam kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan masih banyak lagi kegitan operasional hubungan sekolah dengan masyarakat yang dikreasikan sesuai situasi, kondisi serta kemampuan pihak-pihak terkait.
BAB III
KESIMPULAN
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan jalinan interaksi yang diupayakan oleh sekolah agar dapat diterima di tengah-tengah masyarakat untuk mendapatkan aspirasi, simpati dari masyarakat. Dan mengupayakan terjadinya kerjasama yang baik antar sekolah dengan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan untuk kebaikan bersama.
Tugas Pokok Hubungan Sekolah dan Masyarakat dalam Pendidikan
Memberikan informasi dan menyampaikan ide atau gagasan kepada masyarakat. Membantu pemimpin yang karena tugas-tugasnya tidak dapat langsung memberikan informasi kepada masyarakat. Membantu pemimpin mempersiapkan bahan-bahan tentang permasalahan. Melaporkan tentang pikiran-pikiran yang berkembang dalam masyarakat tentang masalah pendidikan.
Faktor Pendukung Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat bisa berjalan baik apabila di dukung oleh beberapa faktor yakni:
Adanya program dan perencanaan yang sistematis. Tersedia basis dokumentasi yang lengkap.Tersedia tenaga ahli, terampil dan alat sarana serta dana yang memadai.Kondisi organisasi sekolah yang memungkinkan untuk meningkatkan kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat.
Tujuan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat dibangun dengan tujuan popularitas sekolah di mata masyarakat. Popularitas sekolah akan tinggi jika mampu menciptakan program-program sekolah yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan dan cita-cita bersama dan dari program tersebut mampu melahirkan sosok–sosok individu yang mapan secara intelektual dan spiritual.
Bentuk Opersional Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Di bidang Sarana Akademik.
Di bidang Sarana Pendidikan.
Di bidang Sosial.
Menyediakan fasilitas sekolah untuk kepentingan masyarakat sekitar.
Mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat dalam kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler sekolah.

PERSEPSI ISLAM TEHADAP PRIODESASI DAN TUGAS PERKEMBANGAN

BAB I
A. Pendahuluan
Sebagai sistem kepercayaan dan peradaban, islam telah menyediakan berbagai hidangan pengetahuan yang bervariasi yang tertuang didalam Al Qur’an dan As Sunnah. Psikologi islam merupakan reaksi positif bagai serangkaian upaya pengembangan wacana psikologi. Serlain itu, psikologi islam merupakan bentuk pengasimilasian antara nilai-nilai humaniora dengan nilai-nilai agama, sehingga tidak terkesan adanya dikotomis yang tajam antara pelestarian doktrin islam di satu sisi dan dan pengembangan pengetahuan disisi yang lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, dalam maklah ini akan dibahas tentang “Persepsi Islam Terhadap Preodesasi dan Tugas Perkembangan”. Sebagai bukti adanya keterkaitan antara ilmu agama islam dengan ilmu psikologi.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian-uraian diatas dapat diambil rumusan masalam sebagai berikut:
1. Ada berapa Priodesasi perkembangan dan apa tugas-tugasnya?
2. Bagaimana persepsi islam terhadap priodesasi perkembangan?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pertumbuhan Dan Perkembangan
Perkembangan (Developmen) berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalamaan. Perubahan ini bersifat kualitatif mengenai suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.
J. P Chaplin mengumpulkan empat arti perkembangan:
1. Perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme, mulai lahir sampai mati.
2. Pertumbuhan.
3. Perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah kedalam bagian-bagian fungsional.
4. Kedewasaan atau kemunculan pola-pola tingkah laku yang tidak dipelajari.
Dalam pengertian tersebut kata kunci yang menjadi bahasan utama adalah perubahan. Perubahan dalam diri manusia terdiri atas perubahan kualitatif akibat dari perubahan psikis, dan perubahan kuantitatif akibat dari perubahan fisik.
Perubahan kualitatif sering disebut dengan “Perkembangan”, seperti perubahan dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari kekanak-kanakan menjadi dewasa dan seterusnya. Sedang perbanahan kuantitatif sering disebut dengan “Pertumbuhan” seperti perubahan tinggi dan berat badan.
Persoalan yang menjadi topik bahasan psikolog adalah perubahan kualitatif atau perkembangan, sebab hal itu terkait dengan fungsi struktur kejiwaan yang kompleks beserta dinamika prosesnya, meskipun disadari bahwa pertumbuhan fisik sedikit banyak berkorelasi dengan perkembangan psikis.
B.Preodesasi Dan Tugas-Tugas Perkembangan
Preodesasi dan tugas-tugas perkembangan manusia menurut Sigmund Freud dari psikoanalisa membagi perkembangan psikis manusia dalam empat fase:
1.Fase Oral: Yakni fase dimana sumber kesenangan atau kenikmatan pokok diperoleh dari kegiatan-kegiatan mulut seperti, menghisap, menggigit, megunyah, makan, merokok dan sebagainya. Fase ini berlangsung selama kurang lebih satu tahun.
2.Fase Anal: Yakni fase dimana sumber kesenagan dan kenikmatan diperoleh dari kegiatan berasosiasi dengan rangsangan pada daerah dubur, khususnya pada daerah pembuangan air besar. Tahap ini berlangsung pada tahun kedua.
3.Fase Phalik: Yakni fase dimana pusat dinamika perkembangan pada perasaan-perasaan seksual dan agresif berkaitan dengan mulai berfungsinya organ-organ genital. Kenikmatan masturbasi onani serta kehidupan fantasi anak yang menyertai aktifitas auto-erotik membuka jalan bagi timbulnya komplek oidipus atau belum matangnya perkembangan seseorang.
4.Fase Genetal: Yakni fase dimana kesenangan atau kegairahan seksual diperoleh melalui rangsangan pada organ-organ kelamin. Fungsi biologis pokok dari fase genetal ini adalah reproduksi. Pada fase ini sang pribadi mengalami transformasi dari narsisistik (Cinta Diri) menjadi orang dewasa yang memasyarakat dan berorientasi pada kenyataan.
Menurut Hurlock teori fase-fase dan tugas perkembangan secara lengkap yaitu dibagi menjadi sepuluh fase yang memiliki tugas-tugas perkembangan
No Preode perkembngan Usia Tugas-tugas perkembangan
1 Pranatal Konsepsi kelehiran
2 Bayi Kelahiran-Minggu kedua
3
4 Masa bayi
Awal kanak-kanak Minggu kedua-2 tahun
2-6 tahun • Belajar makan-makanan padat
•Belajar berjalan
•Belajar berbicara
•Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh
•Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya
•Belajar membedakan benar dan salah
5Akhir kanak-kanak 6-10/12 tahun
• Mempelajari eterampilan fisik untuk jenis permainan umum
•Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahkluk yang sedang tumbuh
• Belajar menyesuaikan diri dengan teman-temannya
• Dll
6

7 Puber atau pra remaja
Remaja 10/12-13/14 tahun

13/14-18 tahun • Mencari hubungan baru dengan teman sebaya baik pria maupun wanita
• Mencapai peran sosial
• Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif
• Berperilaku sosial dan bertanggung jawab
• Mencapai kemandirian emosional
• Mempersiapkan perkawinan dan berkeluarga
8 Awal dewasa 18-40 tahun • Mulai bekerja
• Memilih pasangan
• Belajar hidup dengan tunangan
• Mulai membuka keluarga
• Menngasuh anak
• Mengelola rt
• Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
• Mencapai kelompok sosial yang menyenangkan
9 Usia pertengahan 40-60 tahun • Mencapai Tanggung Jawab Sosial Dan Dewasa Sebagai Warga Negara
• Mendidik Anak Untuk Dewasa Dan Bertanggung Jawab
• Mengembangkan Kegiatan-Kegiatan Waktu Senggang Untukourang Dewasa
• Dll
10 Tua atau usia lanjut 60 tahun-meninggal dunia • Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan
• Menyesuaikan diri dengan kematian pasanganya dan dirinya
• Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusianya
• Membentuk pengaturan fisik yang memuaskan
• Menyesuaikan dri dengan peran sosial secara luwes

Rentang kehidupan manusia yang digambarkan dalam psikologi perkembangan diatas bersifat rendah dan hanya temporer. Kehidupan manusia sebatas pada kehidupan dunia, dimulai pranatal sampai pada kematian.
C. Persepsi Islam Terhadap Priodesasi Perkembangan
Dalam psikologi islam, manusia memiliki struktur ruh yang keberadaannya menjadi esensi manusia. Struktur ruh memilki alam tersendiri, yang disebut dengan alam arwah, yang mana alam tersebut ada diluar dan didalam alam dunia. Alam ruh diluar alam duni adakalanya sebelum kehidupan dunia dan ada kalanya sesudahnya. Oleh karena itu, kehidupan manusia meliputi tiga alam besar yaitu: Alam perjanjian, alam dunia dan alam akhirat.
a. Alam Perjanjian: Yakni alam yang merupakan alam pra kehidupan dunia dan menjadi rencana yang memberi motifasi kehidupan manusia di dunia. Pada alam ini, struktur biologis manusia belum terbentuk dan satu-satunya struktur manusia yang berinteraksi adalah ruh.
b. Alam Dunia: Yakni alam yang merupakan alam pelaksanaan atas rencana Tuhan yang telah ditetapkan pada alam primodia. Pada alam ini, selain struktur ruh juga telah terbentuk struktur jasad, gabungan antara ruh dan jasad menjadi struktur yang disebut dengan struktur nafsani.
c. Alam Akhirat: Struktur di alam ini memiliki prpses graduasi sebab terikat dengan hukum-hukum jasmaniah. Oleh karena itu, alam ini memiliki pereodesasi dengan tugas-tugas perkembangannya.
Dalam preodesasi alam ini didasarkan atas pemikiran:
1) Bahwa kehidupan dunia merupkan realisasi dari kehidupan alam perjanjian sebagai bekal untuk alam akhirat.
2) Bahwa psikologi islam tidak hanya membicarakan periode dan tugas-tugas perkembangan secara apa adanya tetapi juga bagaimana seharurnya.
3) Bahwa pengkajian psikologi islam beranjak dari aksioma wahyu malalui metode deduktif bukan dari metode induktif.
Berdasarkan pemikiran tersebut, predosesasi dalam Psikologi Islam dapat ditentukan sebagai berikut:
a) Periode Pra-Konsepsi: Yaitu periode perkembangan manusia sebelum masa pembuahan sperma dan ovum.
b) Periode Pra-Natal: Yaitu periode perkembangan manusia yang dimulai dari pembuahan sprema dan ovum sampai masa kelahiran.
c) Preode Kelahiran sampai meninggall dunia: Periode ketiga ini memiliki beberapa fase. Untuk mengetahui fase-fase itu ada tiga ayat al qur’an yang menjelaskannya yakni:
ثم نحرجكم طفلا ثم لتبلعوا اشد كم و منكم من يتوفى و منكم من يرد الى ارذل العمر لكيللا يعلم من بعد علم شيئا

“Kemudian kami keluarkan kamu segabayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah pada kedewasaan dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan ada pula diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya”. (QS. Al-Hajj :5)

الله الذي خلقكم من ضعف ثم جعل من بعد ضعف قوة ثم جعل من بعدقوة ضعفا وشيبة يخلق ما يشاء و هو العليم القد ير
“Allah, dialah yang menciptakan dari keadaan lemah,kemudian dia menjadikan kamu sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,kemudian menjadikan kamu dari kuat itu lemah (kembali) diubah.dia menciptakan apa yang dikehendakinya dan dialah yang yang maha mengetahui lagi maha kuasa”. (QS-Al. Rum :54)

اعلم انما الحيا ة الدنيا لعب ولهو و زينة وتفاخر بينكم وتكاثر في الاموال والاولاد
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, kebiasaan dan bermagah–megahan antara kamu serta berbangga–bangga tentang banyaknya harta dan anak’. (QS. Al- Hadid:20)
Dua ayat pertama menunjukkan bahwa kehidupan dunia terbagi atas tiga fase yaitu: (1) Fase kanak- kanak atau damana kondisi seseorang masih lemah. (2) Fase baligh atau fase dimana kondisi seseorang menjadi kuat dan dewasa. (3) Fase usia lanjut yang secara psikologis ditandai dengan kepikunan dan secara biologis ditandai dengan rambut beruban dan kondisi tubuh yang lemah.
Sementara ayat ketiga menunjukkan lima fase kehidupan dunia yaitu: (1) Fase Permainan, dimulai post-natal sampai usia 5 tahun.pada fase ini, anak hanyalah anak permainan yang dimainkan oleh orang dewasa. Ia tidak memiliki inisiatif hidup melainkan sekedar mengikuti naluri atau insting kehidupannya. (2) Fase Main-main, dimulai sekitar usia 6 tahun – 13 tahun. Pada fase ini kehidupan manusia adalah untuk main-main dan kesenangan semata tanpa memiliki tujuan yang hakiki. (3) Fase Menghias dan mempercantik diri, dimulai sekitar usia 14 tahun – 24 tahun. Pada fase ini hidup untuk mempercantik diri, karena masa pubernya mulai tumbuh. Ia tidak lagi memikirkan dirinya tetapi bagaimana dia dapat memiliki dan diakui orang lain. (4) Bermegah-megahan, yang dimulai dari 25 tahun sampai sekitar 39 tahun. Kecenderungan pada fase ini seorang adalah bermegah-megahan terhadap apa yang telah dirintis pada fase sebelumnya, seperti gelar akademik, pekerjaan dan peran didalam masyarakat. (5)Memperbanyak dan menikmati harta dan anak, dimulai dari 40 tahun sampai meninggal dunia.

BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan (Developmen) berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalamaan. Perubahan ini bersifat kualitatif mengenai suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.
Fase Oral: Yakni fase dimana sumber kesenangan atau kenikmatan pokok diperoleh dari kegiatan-kegiatan mulut
Fase Anal: Yakni fase dimana sumber kesenagan dan kenikmatan diperoleh dari kegiatan berasosiasi dengan rangsangan pada daerah dubur
Fase Phalik: Yakni fase dimana pusat dinamika perkembangan pada perasaan-perasaan seksual dan agresif berkaitan dengan mulai berfungsinya organ-organ genital.
Fase Genetal: Yakni fase dimana kesenangan atau kegairahan seksual diperoleh melalui rangsangan pada organ-organ kelamin.
Dalam psikologi islam, manusia memiliki struktur ruh yang keberadaannya menjadi esensi manusia. Struktur ruh memilki alam tersendiri, yang disebut dengan alam arwah, yang mana alam tersebut ada diluar dan didalam alam dunia. Alam ruh diluar alam duni adakalanya sebelum kehidupan duni dan ad kalanya sesudahnya. Oleh karena itu, kehidupan manusia meliputi tiga alam besar yaitu: Alam perjanjian, alam dunia dan alam akhirat.
Alam Perjanjian: Yakni alam yang merupakan alam pra kehidupan dunia dan menjadi rencana yang memberi motifasi kehidupan manusia di dunia. Pada alam ini, struktur biologis manusia belum terbentuk dan satu-satunya struktur manusia yang berinteraksi adalah ruh.
Alam Dunia: Yakni alam yang merupakan alam pelaksanaan atas rencana Tuhan yang telah ditetapkan pada alam primodia. Pada alam ini, selain struktur ruh juga telah terbentuk struktur jasad, gabungan antara ruh dan jasad menjadi struktur yang disebut dengan struktur nafsani.
Alam Akhirat: Struktur di alam ini memiliki prpses graduasi sebab terikat dengan hukum-hukum jasmaniah. Oleh karena itu, alam ini memiliki pereodesasi dengan tugas-tugas perkembangannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, predosesasi dalam Psikologi Islam dapat ditentukan sebagai berikut:
Periode Pra-Konsepsi: Yaitu periode perkembangan manusia sebelum masa pembuahan sperma dan ovum.
Periode Pra-Natal: Yaitu periode perkembangan manusia yang dimulai dari pembuahan sprema dan ovum sampai masa kelahiran.
Preode Kelahiran sampai meninggall dunia: Periode ketiga ini memiliki beberapa fase.

DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT Grafinso Persadea. 2001.
Naser, Saiyid Husen. Tasawuf Dulu dan Sekarag.Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata kuliah Masail Fiqhiyah

Disusun Oleh:

1. M LATIF NAHROWI (210309082)

KELAS/SEMESTER: TB.C / III

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang komplit, agama yang paling sempurna, dan penyempurna dari agama-agama yang lain, bahkan dalam hal pernikahan pun islam telah membahas secara mendetail mulai dari syarat, rukun dan macam-macamnya termasuk bentuk-bentuk pernikahan baik yang dilarang oleh agama ataupun tidak.
Sebagaimana yang telah kita ketahui berasama bahwa tujuan perkawinan menurut agama islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, yakni kasih sayang antara anggota keluarga.
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas hidupnya. Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian sehingga tujuan melangsungkan perkawinan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama.
Mengenai naluri manusia seperti tersebut pada ayat 14 surat Ali Imran;
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum pernikahan dengan wanita musyrik?
2. Bagaimana hukum pernikahan dengan ahli kitab?
3. Apa alasan dilarangnya pernikahan beda agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUH Perdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peratura
Perundang-Undangan
1) Hakikat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.
Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.
2) Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).
3) Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun..
4) Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.
"Cinta itu buta," begitu kata penyair asal Inggris, William Shakespeare. Ungkapan yang sangat masyhur itu memang kerap terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, terkadang sampai melupakan aturan agama. Saat ini, tak sedikit umat Muslim yang karena "cinta" berupaya sebisa mungkin untuk menikah dengan orang yang berbeda agama. "Tolong dibantu... Saya benar-benar serius untuk melakukan nikah beda agama. Saya benar-benar pusing harus bagaimana lagi," tulis seorang wanita Muslim pada sebuah laman.
Lalu bolehkah menurut hukum Islam seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang yang berbeda agama? Masalah perkawinan beda agama telah mendapat perhatian serius para ulama di Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama.
MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini diantaranya:
Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram," ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.
Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar hukum. "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber iman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu................." (QS: al-Baqarah:221).
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.
Ulama Muhammadiyah pun menyatakan kawin beda agama juga dilarang dalam agama Nasrani. Dalam perjanjian alam, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan yang berbeda agama. "Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
"Jadi, kriteria sahnya perkawinan adalah hukum masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai," papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama Muhammadiyah menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya secara Islam.
C. Pernikahan dengan Wanita Musyrik
Membahas pernikahan dengan wanita musyrik ini, Tafsir Tematik al-Qur'an, memuat komentar mufassir kenamaan, yaitu al-Thabari. Al-Thabari, seorang mufassir klasik ini dalam bukunya: Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an, ketika membahas surat al-Baqarah (2): 221, menyebutkan ada tiga pendapat dalam menafsirkan wanita musyrik.
Pertama, yang dimaksudkan wanita musyrik di situ adalah mencakup wanita-wanita musyrik dari bangsa Arab dan bangsa lainnya. Namun kemudian ketentuan hukumnya dihapus oleh al-Mâidah (5): 5, yang membolehkan pria Muslim menikah dengan wanita ahli kitab. Kedua, yang dimaksudkan dengan wanita muysrik dalam ayat itu adalah wanita musyrik dari bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci dan menyembah berhala. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa wanita musyrik dalam ayat ini mencakup semua perempuan yang menganut politheisme dalam segala bentuknya, baik Yahudi, Kristen maupun Majusi. Dari tiga pendapat di atas, al-Thabari sendiri berpendapat bahwa pendapat kedua lebih râjih. Dengan kata lain, kata al-Thabari, wanita dalam al-Baqarah(2): 221 itu harus dibedakan dengan wanita ahli kitab.
Pendapat al-Thabari di atas sesuai dengan asbâb al-nuzulnya. Dalam asbâb al-nuzul dari al-Baqarah: 221 ini dikisahkan bahwa Abdullah b. Rawahah menikah dengan seorang budak perempuan yang telah dimerdekakannya. Perempuan yang dinikahi Ibn Ruwahah ini sebelumnya adalah seorang musyrik Arab. Tindakan salah satu sahabat Nabi ini banyak menjadi pembicaraan di kalangan para sahabat dengan tanggapan yang minor. Tindakan Abdullah ini memang agak menentang arus umum pada waktu itu oleh karena banyak pria Muslim (para sahabat) yang berbeda dengan apa yang dilakukan Abdullah. Namun, al-Qur'an justru membela tindakan Abdullah ini, lalu turunlah ayat 221 surat al-Baqarah tersebut.
Memperhatikan asbâb nuzulnya, seperti dijelaskan di atas, menurut hemat penulis, agaknya ada situasi yang menunjukkan adanya kekhawatiran Nabi atas realitas sahabat-sahabatnya, dimana masih banyak yang menikah dengan wanita musyrik. Dari asbâb al-nuzul ini dapat diketahui bahwa ayat ini agaknya merupakan antisipasi preventif al-Qur'an setelah melihat realitas para sahabat Nabi.
Berdasarkan asbâb al-nuzul ayat 221 surat al-Baqarah di atas, wanita musyrik yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik yang hidup pada zaman Nabi yang tidak beragama, yaitu wanita penyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci. Pelarangan ini tampaknya dapat dipahami karena situasi waktu itu, khususnya bagi orang Islam masih dalam situasi konsolidasi sebagai komunitas yang baru tumbuh dalam waktu yang belum terlalu lama.
Ayat ini turun ketika Nabi belum lama menjadi pemimpin kota Madinah. Tampaknya, Nabi sebagai pemegang otoritas merasa harus melakukan intervensi terhadap persoalan pernikahan orang Islam menjadi bagian dari tugas kekhalifannya. Di sini, Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai pemimpin masyarakat Madinah dan tugas kenabian serta kerasulannya untuk membimbing umat Islam dengan cara mempertahankan keutuhan umat Islam.
Melalui penegasan seperti dijelaskan secara tekstual dalam surat al-Baqarah: 221 di atas, pernikahan beda agama tidak begitu menjadi masalah ketika Nabi masih hidup oleh karena ketaatan kepada Nabi sangat tinggi. Namun, pemahaman ayat ini menjadi masalah ketika orang Islam telah berinteraksi dengan berbagai komponen bangsa lain pasca perluasan wilayah yang terjadi di dunia Islam, lebih-lebih masyarakat dewasa ini sebagai bentuk pergaulan yang telah mengalami globalisasi, hampir dipastikan sulit untuk menghindari interaksi dengan orang yang beda agama.
Oleh karena itu, ada pertanyaan, apakah wanita muysrik seperti yang disebut dalam surat al-Baqarah: 221 itu bisa disamakan dengan wanita non Islam yang hidup dewasa ini, yang situsasinya berbeda dengan masa Nabi? Dalam bebera kasus, pernikahan beda agama terjadi karena murni faktor kemanusiaan dari kedua belah pihak. Di sini, pemahaman ayat menjadi persoalan, dan dipihak lain, pemegang otoritas penafsiran, dalam hal ini Nabi telah wafat. Oleh karena itu, pluralitas pemahaman ayat tersebut menjadi sulit untuk dihindari kemunculannya. Meski demikian, mayoritas ulama tidak memperkenankan seorang lelaki muslim menikah dengan wanita musyrikah.
D. Pernikahan dengan Ahli Kitab
Pembahasan pernikahan dengan ahli kitab disinggung dalam surat al-Mâidah (5) ayat 5. Ayat ini turun 7 tahun setelah turunnya surat al-Baqarah (2): 221. Berdasarkan pemahaman tekstual ayat ini, bagi pria Muslim, pernikahan dengan wanita ahli kitab diperbolehkan. Al-Thabari, seperti dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an, mengatakan bahwa wanita ahli kitab tidak termasuk wanita musyrik sehingga al-Mâidah ayat 5, seperti disinggung di muka tidak bertentangan dengan al-Baqarah: 221.
Ibn Umar, salah satu putra Umar b. Khattab, berpendapat bahwa ahli kitab itu sebagai penganut kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan yang dianut bangsa Arab. Apakah statemen Ibn Umar ini berarti ia mengharamkan pernikahan dengan ahli kitab? Mengomentari pernyataan Ibn b. Umar ini, al-Jashshas, salah seorang mufassir kesohor bermazhab Hanafi, seperti dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an, menyatakan bahwa sebetulnya Ibn Umar tidak sampai mengharamkan, tetapi tidak senang melihat orang Islam menikah dengan ahli kitab.
Wanita ahli kitab yang boleh dinikahi seperti dijelaskan dalam ayat di atas, adalah wanita yang menjaga kehormatan dan memiliki kitab, yaitu Yahudi dan Kristen. Dengan kata lain, Muhammadiyah berkesimpulan bahwa ahli kitab seperti disinggung al-Qur'an itu memang selalu terkait dengan umat Yahudi dan umat Kristen. Temuan ini sesuai dengan temuan Muahammad Ghalib dalam disertasinya, bahwa ahli kitab yang disinggung al-Qur'an itu adalah Yahudi dan Nasrani. Berdasarkan pada ciri ini, yaitu wanita ahli kitab itu adalah wanita non Muslim yang memiliki kitab suci, dalam hal ini dari kalangan Yahudi dan Nasrani, maka wanita non Islam selain Kristen dan Yahudi tidak boleh dinikahi.
E. Alasan Larangan Pernikahan Beda Agama
Pada paparan-paparan seperti dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Tafsir Tematik al-Qur'an, al-Qur'an melarang seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang musyrik. Tafsir Tematik al-Qur'an berpendapat bahwa surat al-Baqarah (2): 221 telah menyebutkan apa yang biasa dikatakan sebagai alasan (`illah) penetapan larangan pernikahan dengan orang musyrik, yaitu karena mengajak ke neraka.
Kata musyrik dalam ayat tersebut, menurut analisis Tafsir Tematik al-Qur'an, dengan demikian, merujuk pada agama. Alasan kesimpulan ini didasarkan pada `iilah penetapan pelarangan wanita dan pria musyrik tidak boleh dinikahi, menurut ayat itu, karena akan mengajak pasangan hidupnya ke neraka, yang berupa kekafiran kepada Allah dan Rasul-Nya. Ajakan mereka ini secara diametral bertentangan dengan ajakan Allah yang mengajak kepada surga dan ampunan.
Pernikahan, kata Rasyid Ridha, seperti dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an, merupakan faktor yang memberikan ruang dan mendorong orang untuk bersikap toleran terhadap pasangannya dalam banyak hal. Setiap sikap mempermudah dan toleran terhadap pria dan wanita musyrik itu dilarang dan harus dihindari dampak buruknya, meskipun pendapat Ridha ini tidak disetujui oleh al-Jashshas sebagai alasan utama. Kata al-Jashshas, alasan seperti dikemukakan Ridha ini bukan `illah mujibah tetapi `illah penyerta semata bagi haramnya pernikahan dengan wanita dan pria musyrik.
Menurutnya, sebab dilarangnya pernikahan itu adalah kemusyrikannya yang dianut oleh orang musyrik sendiri. Sebab kalau mengajak ke neraka itu dijadikan sebagai `illah, al-Qur'an sendiri memperbolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab. Dari bantahan ini tampaknya al-Jashshash menyamakan antara wanita ahli kitab dengan wanita musyrik.
Tafsir Tematik al-Qur'an sendiri agaknya menerjemahkan mengajak ke neraka itu sebagai memiliki nuansa agama. Kesimpulan ini, menurut analisis Tafsir Tematik al-Qur'an, karena orang-orang yang dilarang untuk dinikahi itu dalam al-Qur'an disebut dengan menggunakan identitas agama. Di samping itu, ketika menetapkan aturan larangan pernikahan dalam surat al-Baqarah: 221, kitab suci itu menggiringnya dengan pernyataan yang khas agama: "mereka mengajak ke neraka", yang kemudian mereka dipahami sebagai alasan penyebab dan penyerta, seperti telah dikemukakan di muka.
Meskipun berdasarkan pemahaman tekstual atas al-Mâidah: 5 bahwa pria Muslim diperbolehkan menikai wanita ahli kitab, namun karena al-Qur'an, disimpulkan Tafsir Tematik al-Qur'an, menyebutkan larangan itu terkait sebagai motif agama, maka dalam kontek Indonesia, menurut Tafsir Tematik al-Qur'an, bila pernikahan beda agama diperbolehkan, akan mengakibatkan rusaknya kerukunan antar agama yang telah diupayakan sedemikian rupa.
Berdasarkan perspektif ini, pelarangan oleh MUI dan hukum positif, dalam perspektif syari`ah dapat dibenarkan. Tampaknya, Tafsir Tematik al-Qur'an berpendapat bahwa alasan pelarangan bukan semata karena berangkat persoalan agama semata, tetapi juga pernikahan itu sudah menjadi urusan publik.


DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, 1997.
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985.
Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-`Araby, 1335 H).
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina, 1998).
MTPPI, Tafsir al-Qur'an Tematik, 214.
Al-Tabari, Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1978).
Al-Tabari, Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1978).
http://www.scribd.com/doc/3144824/Perkawinan-Beda-Agama-Di-Indonesia diakses tanggal 28 11 2010.