indonesia

indonesia

Senin, 21 Oktober 2013




WACANA PENDIDIKAN!!!!
Palu Sidang Umum MPR tahun 1999 berada di tangan Amien Rais sebagai pimpinan sidang di lembaga tertinggi negara waktu itu. Amien bertekat meloloskan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) presiden. Bagi Amin, Gus Dur sosok terbaik dalam anggapannya waktu itu. Karena, Gus Dur merupakan tokoh yang sangat representatif yang bisa menjembatani semua kalangan di tengah krisis multidimensional, apalagi Gus Dur didukung basis pesantren tradisonal di pedesaan. Amien sangat yakin akan itu. Amin menyatakan bertekat bulat mendukung Gus Dur menjadi presiden sampai akhir jabatan, walau di tengah jalan ia harus mengkhianati komitmen politiknya terhadap Gus Dur.

Tampilnya Gus Dur sebagai presiden ke-4 RI melalui cucuran keringat, sidang umum MPR pertama yang paling demokratis selama 30 tahun terakhir. Menjelmanya Gus Dur yang mempunyai latar belakang kultur pesantren sebagai orang nomor satu di Indonesia merupakan hadiah terbesar kaum santri kepada bangsa ini dalam sepanjang sejarah pentas politik Indonesia. Ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden, begitu terperangah semua kalangan, khususnya kaum terdidik yang dilahirkan dari jagat akademisi modern. Karena jagoan komunitas kampus waktu itu adalah sosok Amin memilih menjadi ketua MPR, yang dalam perspektif komunitas kampus, ia merupakan tokoh Islam modernis. Jagat kampus menaruh harapan besar terhadap Amin yang modernis menjadi presiden waktu itu, sebagaimana kaum pesantren juga mempunyai cita-cita tinggi terhadap panutannya, Gus Dur. Maka, saat terpilihnya, Gus Dur dirundung kecemberutan kalangan inteletual kampus.

Gus Dur adalah sosok tokoh santri yang mepunyai wawasan holistik yang pernah dilahirkan NU. Ketika Gus Dur memangku jabatan presiden, kalangan pesantren sangat bangga dan para santri merasa terwakili di birokrasi serta merasa hidup kembali yang selama setengah abad lebih kaum pesantren mengalami mati suri di republik ini. Kendati pemerintahan yang dipimpin Gus Dur tidak sampai 5 tahun, gradasi-gradasi kaum santri pada saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, memancar ke setiap anasir di negeri ini. Dengan kata lain, saat itu kaum pesantren tidak menjadi kaum marginal lagi dan tidak menjadi anak tiri. Tetapi, predikat anak tiri sampai sekarang masih belum lepas disandangnya.

Gus Dur, walau dilahirkan dari ranah tradisional NU, namun pemikirannya membusur kepada arah modernis, baik dalam prespektif politik maupun wacana keagamaan. Gus Dur telah mengajarkan kaum santri untuk berpikir maju dan kritis dalam berbagai paradigma. Pertanyaannya, apakah NU akan melahirkan kembali sosok tokoh santri seunik dan seholistik seperti Gus Dur? Dalam pandangan masyarakat awam di kota-kota besar, NU selalu dikorelasikan dengan sosok tokoh kontroversial ini. NU memang sudah tidak lagi dilihat sebelah mata semenjak tokoh unik ini memimpin NU, bahkan hangatnya keringat pemikirannya masih dirasakan sampai detik ini. Ketika para santri berjalan di panggung politik dan ruang publik, komunitas akademik modern biasanya kegerahan, geliat tidak nyaman selalu tampak pada raut muka mereka. Kritik tajam pun menghunus dan menjotos dilontarkan ke komunitas santri. Dua kutub yang berbeda ini selalu menjadi tontonan menarik para pengamat, bak arena balapan mobil saling menancap gas untuk melaju kencang ke arah finish kekuasaan. Kaum pesantren tradisional dan komunitas intelektual modern di negeri ini meloncat pada sirkuit politik dan ruang publik. Kaum intelektual modern biasanya dalam tiap etape selalu yang pertama di garis kekuasan dan ruang publik. Sementara, kaum pesantren selalu tersisih dalam arena pentas nasianal. Karena, kaum Pesantren selalu menggunakan logika yang melingkar-lingkar pada diktum-diktum masa lampau dalam memecahkan persoalan kekinian. Dinamika pemikiran santri biasanya mengunakan postulat-portulat para ulama masa lampau sebagai rujukan dalam praktiknya menjadi baku, suatu yang tidak berubah, sehingga bila ia memberikan pembenaran atas kondisi politik maupun sosial dewasa ini, bukan di dasarkan dalam konteks kontemporer, melainkan atas rujukan premis-premis para ulama masa lampau yang dirumuskan pada abad pertengahan. Akibatnya, pesan agama maupun politik menjadi terbelakang di tengah gemuruhnya dinamika modernitas. Kritik di atas sering dilontarkan dari bilik akademik modern (baca: mahasiswa) untuk kaum pesantren tradisonal.

Santri, sebagai sayap intelektual tradisonal, akan selalu berhadapan dengan komunitas intelektual kampus yang modernis. Komunitas intelektual kampus pada perguruan tinggi sekuler biasanya menjotos premis-premis konvensional oleh pemikiran sains dan teknologi modern yang empiris rasional serta analitik yang mereka anut. Bagi kaum santri, biasanya ada kekecewaan terhadap mengekskorsinya modernisme di Indonesia ini.

Menurut Kuntowijoyo (2004), ”Modernisme mempunyai cita-cita adanya pemisahan, diperentiation dan pemandirian, autonization—agama menjadi dependen variabel semata. Dengan kata lain, modernisme menghendaki sekulerisme, yaitu proses melepasnya dominasi agama atas masyarakat dan budaya.” Masih menurut Kuntowijoyo, ia membagi sekulerisasi menjadi dua, pertama, sekulerisasi obyektif, yaitu korelasi pemisahan dan pemandirian gejala sosial kultural dengan agama. Maka, akan didapatkan bahwa ekonomi lepas dari agama, politik lepas dari agama, pendidikan lepas dari agama dan seterusnya. Kedua, sekulerisasi subyektif adalah munculnya ideologi kemasyarakatan dan ateisme ilmiah dalam ilmu secara agresif mempropagandakan masyarakat sekuler.

Diktum-diktum di atas jelas berlawanan dengan sayap santri yang mempunyai akar tradisi kultural tradisional. Pada tataran gaul modernitas, kaum pesantren biasanya selalu tidak percaya diri, atau tidak mempunyai kemandirian, apalagi kalau sudah tercebur ke arena sirkuit di arena balapan sekuler modern dan selalu terseret-seret atau diseret ke arah arena politik praktis dengan membawa ketidakpercayaan diri dan dipaksakan kaum santri ajeg dengan ketidakmapanan di arena tersebut.

Maka, kalau seorang kaum sarungan berada di ranah politik seakan dipaksakan atau memaksakan diri, tuduh kaum intelektual modern. Dua kutub yang berbeda ini harus ada yang menjembatani, dengan kata lain, harus ada pencerahan pada epistem yang berbeda ini. Sebagaimana Immanuel Kant dalam filsafat telah mampu menjembatani antara penganut paham rasionalisme dan empirisme. Jadi, kelak akan terjadi perjumpaan antara santri tradisional dan intelektual modern dalam mengurus ruang publik ini. Demikin juga agar ke depan santri tidak lagi terseok-seok ketika tercebur ke ranah modernitas. Juga seorang akademisi modern tidak lagi merasa yang paling mempunyai dominasi hegomoni sekuler modernis di negeri ini . NU Online yang digagas dan didirikin kaum sarungan ke depan adalah menjadi cermin pencerahan itu. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar