KEBIJAKAN PENDIDIKAN BERDASARKAN
FAKTA DAN INFORMASI
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata
Kuliah Kebijakan Pendidikan
Dosen pengampu:
KADI, M.Pd.I
Disusun Oleh:
M LATIF NAHROWI :
210309081
KELAS/SEMESTER: TB.C / VI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012
BABI
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Reformasi
membawa perubahan disegala bidang slah satunya adalah otonomi daerah. Penerapan
otonomi daerah dengan dasar dsentrealisari ini didasari oleh keinginan
menciptakan demokrasi, pemerataan, dan efisiensi. Desentralisasi berimplikasi kebijakan publik harus berasal dari
masyarakat bawah keatas, bukan lagi dari atas atau pemerintah.
Akan
tetapi, dalam bidang pendidikan hal tersebut sepertinya tidak bisa berjalan
sesuai seperti seharusnya. Kebijakan-kebijakan yang ada pada saat ini terkesan
dan bahkan memang semuanya berasal dan disusun langsung oleh Dinas pendidikan
tanpa memperhatikan partisipasi dari masyarakat. Pendidikan yang seharusnya
berpusat di masyarakat, untuk saat ini pendidikan masih di pegang secara penuh
oleh pihak Dinas pendidikan atau pemerintah.
Padahal
pendidikan yang dijadikan isu politik membutuhkan pranata sosial dan
masyarakatyang memiliki partisipasi aktif dengan kemampuan untuk menyampaikan
aspirasi. Kondisi yang semacam itu merupakan unsur penting dalam mendukung
terwujudnya segala bentuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang adil dan
demokratis.
Keterbukaan
dan kesempatan untuk bertpartisipasi dalam bidang pendidikan harus dimanfaatkan
dengan baik yakni dengan cara setiap mengambil kebijakan pemerintah harus
menerapkan sistem botom up, yakni kebijakan yang berasal dari kondisi
masyarakat.
Dari
beberapa temuan analisis diatas maka dalam makalah ini kami akan mencoba
menyajikan materi kebijakan pendidikan berdasarkan fakta dan informasi
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses siklus
kebijakan pendidikan yang berdasarkan fakta dan infornasi?
2.
Bagaimana kebijakan pendidikan berdasarkan fakta dan informasi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kebijakan Pendidikan
Menurut
para pakar ahli definisi kebijakan adalah sebagai berikut:
1.
Unitet Nations (1975)
Kebijakan adalah suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman
bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai
aktifitas-aktifitas tertentu (Wahab, 1990)
2.
James E. Anderson (1978)
Kebijakan adalah prilaku dari sejumlah aktor ( pejabat, kelompok,
instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu kegiatan tertentu
(Wahab, 1990).[1]
Dari teori kedua pakar diatas dapat
kita analisa, bahwasannya kebijakan adalah sebuah keputasan yang dibuat
oleh seseorang sebagai suatu pedoman
atau dasar untuk melakukan tindakan atau aktifitas tertentu. Dalam hal ini
pemerintah tentunya yang paling berperan penuh dalam menentukan sebuah
kebijakan yang nantinya dilaksanakan dan diikuti oleh semua pelaku kebijakan.
Pengertian
Kebijakan pendidikan adalah proses suatu penilaian terhadap sistem nilai dan
faktor-faktor kebutuhan situasional yang sudah dirumuskan secara strategis oleh
lembaga pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dan di
operasikan dalam sebuah lembaga pendidikan sebagi perencanaan umum dalam rangka
untuk mengambil keputusan agar tujuan pendidikan yang di inginkan bisa
tercapai.[2]
Hal
diatas dapat kita cermati secara seksama bahwasannya kebijakan pendidikan
merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan
untuk memberikan acuan atau dasar terhadap seluruh elemen yang berhubungan
dengan pendidikan, tentunya dalam mengambil kebijakan juga mempertimbangkan
kondisi dan kebutuhan pelaku pendidikan.
B.
Siklus Kebijakan Pendidikan yang Berdasarkan Fakta dan Informasi
Pada
ganbar siklus dibawah ini ditunjukan kaitan yang erat antara teori, riset,
kebijakan dan praktik pendidikan,
Dari siklus
diatas dapat diuraikan sebagai berikut:
Kabijakan
pendidikan yang berdasarkan fakta dan informasi telah mendapat input dari
kebutuhan masyarakat, selanjutnya kebijakan pendidikan tersebut akan menentukan
masalah-masalah yang perlu diteliti. Dengan demikian riset bukan hanya
dilaksanakan untuk kepentingan riset itu sendiri dan hasilnya kebanyakan
disimpan dilaci meja, tetapi riset yang betul-betul dilaksanakan karena
kebutuhan lapangan. Hasil riset yang demikian akan mempunyai validasi
berdasarkan kenyataan-kenyataan dilapangan. Riset yang telah divalidasi dapat
disebar luaskan dalam berbagai eksperimen. Eksperimen pendidikan inilah
yang akan membuahkan kebijakan
pendidikan yang telah tervalidasi. Demikian seterusnya terjadi siklus yang
berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset dan
eksperimen. Gambar diatas menunjukan model kebijakan pendidikan berdasarkan “Evidence
Information” yang telah banyak dilakukan di beberapa negara.[3]
Berdasarkan
keterangan diatas maka kami mencoba untuk menjelaskan mengenai siklus tersebut sebagai berikut:
Bahwasanya
dalam praktik kebijakan pendidikan seharusnya
pemerintah melakukan haltersebut dari masyarakat yang kemudian melakukan seleksi
masalah untuk riset dan diteruskan dengan melakukan penelitian atau
riset yang dilakukan itu menghasilkan data-data yang ditemukan saat penelitian
atau riset tersebut, setelah mendapatkan hasil riset selanjutnya dilakukan
validasi atau memmvalidkan data dari temuan hasil riset, Kemudian melakukan desiminasi atau memberikan
kesempatan kepada orang atau msyarakat ataupun pemerintahan untuk memberikan komplen
dan masukan sebelum dijadikan sebuah kebijakan, setelah itu munculah kebijakan
pendidikan berdasarkan fakta dan informasi yang ditemukan dari masyarakat dan akhirnya
kebijakan tersebut dipraktikan dalam sebuah
pendidikan.
Jadi
dari siklus diatas dapat kita simpilkan bahwasannya semua kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah untuk memajukan pendidikan yang ada di indonesia
haruslah berasal dari temuan fakta-fakta dan dinformasi dari masyarakat, bukan
sebaliknya pemerintah langsung menentukan kebijakan tanpa ikut campur dari
masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri nantinya yang akan melaksanakan dan
melakukan kebijakan-kebijakan itu adalah masyarakat.
C.
Kebijakan Pendidikan
Berdasarkan Fakta dan Informasi
Model
kebijakan pendidikan sebagaimana yang tertera dalam sub bab B menunjukkan keterlibatan
yang aktif dari para guru profesional
dan birokrasi pendidikan. Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan
pendidikan menuntut peran aktif dari para pendidik profesional karena dari
merekalah dapat disusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta
mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata di dukung oleh fakta-fakta
positif. Kegiatan para pendidik dalam mengikuti setiap langkah dari siklus
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
pendidikan merupakan portofolio dari keprofesionalan pendidik. Dewasa
ini menurut undang-undang no 14 tahun 2004 tentang guru dan dosen menuntut
terbinannya guru profesional yang ditentukan bukan semata-mata oleh ijazah
formal, tetapiterutama oleh partisipasinnya dalam proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan pendidikan.[4]
Melihat
temuan diatas kita bisa menganalisa bahwasannya dalam menentukan kebijakan pendidikan para guru dan birokrasi pendidikan
ditutut profesional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti
siklus-siklus kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari
mereka semua kebijakan pendidikan dapat dihasilkan, maka secara otomatis mereka
harus selalu berperan aktif dan profesional dalam mengeluarkan kebijakan yang
sesuai dengen kebutuhan masyarakat.
Partisipasi
aktif dari para pendidik dalam pembinaan keprofesionalannya telah mulai dicoba
dinegara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Sekolah-sekolah yang
mengambil peranan aktif dalam pembinaan profesionalisme tersebut bergabung
dengan Profesional Development School (PDS). PDS ternyata bukan hannya menjadi
pendorong pembinaan pendidik profesional tetapi juga akan meningkatkan kwalitas
proses pendidikan serta partisipasi masyarakat, dalam pendidikan seperti dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. PDS menunjukkan pada kita arti
yang sebenarnya dari lembaga pendidikan atau sekolah yang otonom.[5]
Coba
kita refleksi secara bersama-sama dari analisa diatas. Berbeda dengan kondisi
penentuan kebijakan pendidikan yang ada di Negara tercinta kita yakni Negara
Indonesia, belum adanya partisipasi aktif dari para pendidik dan birokrasi
pendidikan untuk melihat kondisi masyarakat dalam menentukan sebuah kebijakan. Memang
kalau kita lihat di Negara kita birokrasi pendidikan belum berani menerapkan
hal semacam ini secara besar-besaran dan bersama-sama diseluruh penjuru Negeri.
Berbicara masalah kondisi masyarakat tentunya pasti berbeda dengan
Negara-negara tersebut, akan tetapi demi memajukan pendidikan Indonesia maka
Birokrasi pendidikan dalam menentukan kebijakan harus berani mencoba menerapkan
sistem bottom up secara transparan kepada seluruh masyarakat.
Karena
kita tahu bahwasannya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat dan
kebiasaan beragam. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat
dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua
kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal
pemerintah harus mengikut sertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut
untuk memutuskan suatu kebijakan pendidikan.
Kebijakan
pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah dites
kebenarannya dilapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari
bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut di rumuskan dan di instruksikan
dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan
yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang di
instruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan
pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai akar dilapangan
sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya.[6]
Selain
kebijakan pendidikan yang tidak berakar tersebut akan melahirkan budaya yang ABS
(Asal Bapak Senang) dengan laporan-laporang dari bawah yang menyatakan
keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dapat kita lihat dalam silih
bergantinya kurikulum disekolah tanpa didukung oleh fakta dan kenyataan serta
yang lebih penting lagi sosialisasi dari guru profesional yang akan
melaksanakannya.[7]
Memang
benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari
masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu
dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di Negara
kita ini bisa di rasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi
sayangnya birokrasi pendidikan yang ada di Negara kita belum menerapkan hal
tersebut.
Dalam
penerapan kurikulumpun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah mempunyai
maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita
sering berganti-gantinya kurikulum. Akhrirnya pemeintah kebingungan untuk
menemukan model pendidikan yang ada di Negara kita. Semua itu karena pemerintah
belum bisa mempercayai masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan kebijakan
pendidikan. Meskipun pada akhirnya yang menentukan kebijakan adalah dari
pemerintah, minimal sebelum mengeluarkan kebijakan itu pemerintah harus
mengikut sertakan masyarakat terlebih dahulu. Disadari atau tidak bahwasannya
pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang
ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Tilaar
dan Rian Nugroho. Kebijakan Pendidikan. (Yokyakarta: Pustaka Pelajar).
2009.
http://Mudjiaraharjo.
Uin-Malang AcId/materi-kuliyah/111-pengantar- analisis / kebijakan/pendidikan.html.
diakses tanggal 16-04-2012.
http://ikm1.multiply.com
journal/rem/2/karakter_kebijakan_pendidikan_nasional?
&show_interestitial=1&u=/2Fjournal/2Fintern. Di akses tanggal
10-04-2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar